Lokasi Prioritas Reforma Agraria
Lokasi Prioritas Reforma Agraria
LPRA BANYUASIH
LPRA BANYUASIH

250 ha

300 KK

SERIKAT PETANI PASUNDAN TASIKMALAYA (SPP TASIKMALAYA)

KLAIM HUTAN PERHUTANI

PEMUKIMAN, SAWAH, SARANA UMUM, SARANA IBADAH, PENDIDIKAN DAN KEBUN KOPI RAKYAT

BANYUASIH, TARAJU, TASIKMALAYA, JAWA BARAT

-HOLTIKULTURA, KOPI, TEH, 

Peta
Sejarah Penguasaan
Sejarah Konflik
Analisis Hukum
Rekomendasi

Tanah tersebut merupakan garapan masyarakat yang tidak ada tanaman Perhutani  yang digarap dari tahun 1990 dan pada tahun 1994 di wilayah pameutingan, wilayah cikkalong sekitar tahun 1995 lalu diakui oleh perhutani.

Pada tahun 2004 Perhutani mengklaim tanah yang sudah menjadi desa beserta pemukiman, ladang fasilitas lainnya sebagai kawasan hutan dan menanami sebagian tanah masyarakat dengan tanaman keras.

Masyarakat

Petani yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) Tasikmalaya di Desa Banyuasih Kecamatan Taraju Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat telah memenuhi kriteria dan syarat sebagai subjek RA sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf (a) Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Percepatan Reforma Agraria jo Pasal 8, 9 dan 10 PP 224/1961. Selain itu, berdasarkan bukti sejarah tanah secara turun temurun telah dimanfaatkan petani. 

Klaim Sepihak Perhutani

Dalam perjalannya Perhutani mengklaim tanah, kampung, desa, tanah timbul dll sebagai Kawasan hutan hanya berdasarkan tata batas hutan era kolonial. Tata batas kolonial kemudian diadopsi sebagai produk yang sah menurut Kementerian LHK dan dilanjutkan proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan secara sepihak sejak 1967 hingga saat ini, termasuk melalui Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Kemudian jutaan hektar klaim kawasan hutan tersebut diatur ulang melalui penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) tahun 2022.

Tepatnya pada April 2022 Menteri LHK mengeluarkan keputusan penetapan KHDPK di Pulau Jawa seluas 1,1 juta ha. KHDPK ini tersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. KHDPK ini berada di lokasi yang selama ini diklaim sebagai Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Pemerintah beralasan bahwa "Perhutani sebagai perusahaan negara kehutanan fokus ke bisnis". "Urusan sosial dan pemulihan hutan ditangani pemerintah". Niat tersebut memerlukan strategi dan mekanisme yang tepat agar dapat menyelesaikan krisis agraria di Jawa yang telah berlangsung ratusan tahun. Oleh karena itu keputusan sepihak yang dilakukan Menteri LHK ini perlu dianalisis apakah dapat menyelesaikan masalah agraria struktural di Jawa. Adapun luasan KHDPK di 4 (empat) provinsi di Jawa sebagai berikut:

Tabel. 1 klaim hutan negara oleh Menteri LHK

Wilayah

Luasan (Ha)

Petani Gurem (KK)

Dalam Klaim Hutan Produksi

Dalam Klaim Hutan Lindung

Banten

52.239

7.740

420.270

Jawa Barat

163.427

175.517

2.528.743

Jawa Tengah

136.239

66.749

3.618.041

Jawa Timur

286.744

215.288

4.055.438

Sumber: Surat Keputusan (SK) Nomor SK.287/2022 dan Survei Pertanian Antar Sensus Tahun 2018

Seluruh penunjukan hingga pengukuhan hutan sepihak oleh Kementerian LHK cacat hukum sebab dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011. Dalam putusannya MK frasa ditunjuk dan/atau ditetapkan pada Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa berdasarkan pendapat MK tersebut, Kawasan hutan baru mempunyai kepastian hukum Ketika sudah melalui proses pengukuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan. Lebih lanjut MK berpendapat pada proses pengukuhan memungkinkan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada Kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai Kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas Kawasan hutan harus mengeluarkannya dari Kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan Kawasan yang akan ditetapkan sebagai Kawasan hutan tersebut (Putusan MK 45/PUU-IX/2011). Dengan kata lain Kementerian LHK tidak dapat melakukan/mengeluarkan keputusan hukum di atas Kawasan hutan apabila prosesnya tidak melaui penunjukan, tata batas, penetapan dan pengukuhan hutan terlebih dahulu dan mengeluarkan tanah-tanah petani dari dalamnya.

Oleh sebab itu, KHDPK tidak menyelesaikan masalah structural seperti konflik agrarian dan kemiskinan kronis di Jawa, sebab Jawa masih memiliki masalah antara lain:

1.    Penggunaan klaim hutan negara atas tanah dan desa para petani;

2.  Penetapan/pengukuhan Kawasan hutan yang sepihak tanpa sepengetahuan dan persetujuan petani;

3.   Dominasi dan monopoli hutan oleh Kementerian LHK untuk perusahaan terutama Perhutani;

4. Konsentrasi konflik agrarian, kemiskinan dan guremisasi petani ada di Jawa. (5) KHDPK hutan di Jawa hanya mengatur akses/izin PS bukan RA;

5.  KHDPK mengacu pada UU yang cacat hukum dan tidak berlaku yakni Cipta Kerja;

6. Tanah yang dikuasai Perum Perhutani banyak ditemukan tidak berhutan, tidak berizin, diperjualbelikan/sewakan kepada perusahaan perkebunan dan perumahan;

7.     KHDPK akan memperluas konflik agrarian di Jawa.

 

Oleh karena itu bagi KPA, KHDPK bukan solusi melainkan sumber masalah baru yang seharusnya ditolak oleh Gerakan RA. Bagaimana mungkin RA hendak dijalankan di Jawa tanpa penyelesaian ketimpangan dan konflik terlebih dahulu terutama dengan klaim Perhutani. Kesimpulannya KHDPK hanya benar dalam dua hal yakni: Pertama, membenar-benarkan klaim hutan negara melalui tangan Menteri LHK. Kedua, membenar-benarkan klaim illegal hutan dan tanah untuk Perhutani.

Pendekatan “Pragmatisme” tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, bahkan dapat melahirkan masalah baru yang makin memperumit keadaan. Konflik agraria dalam artinya yang benar (“genuine”), bukan “pseudo-reform” (GWR, 2014).

 

Pengecualian Pemidanaan Sektor Kehutanan Bagi Petani

Di dalam UUPA pengaturan hukum pertanahan di Kawasan hutan setidaknya diatur dalam Pasal 16 ayat (1), Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) jo pasal 46, dimana salah satu ha katas tanah adalah hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. Dalam penjelasannya “Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah”. Maka dari itu KPA berpendapat bahwa konsekuensi dengan diaturnya hak memungut hasil hutan seperti menebang pohon, mengambil tanaman dan memanfaatkan hasil hutan lainnya oleh masyarakat terutama petani dan masyarakat adat, bukanlah tindak pidana, selama dilakukan di atas tanah miliknya sendiri untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Pengecualian pemidanaan untuk petani dan masyarakat adat yang berada di dalam dan/atau sekitar Kawasan hutan, pengecualian yang dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Pasal 1 angka 6 UU P3H jelas menetapkan bahwa “Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara Bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar Kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”.

Ketentuan di atas Kembali di tegaskan dalam Pasal 11 UU P3H “Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”. Undang-undang ini sejak awal menitikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi untuk tujuan komersil atau bisnis. Dalam penjelasannya UU P3H mengatur hal demikian, “tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di dalam wilayah hutan tersebut”.

Kesimpulan

Petani anggota Serikat Petani Pasunda (SPP) Tasikmalaya maupun masyarakat lain telah memenuhi kriteria dan syarat sebagai subjek RA sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf (a) Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Percepatan Reforma Agraria jo Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 PP 224/1961. Selain itu, berdasarkan bukti sejarah penguasaan tanah melalui trukah dll, membuktikan tanah telah dimanfaatkan petani. Dengan kata lain tanah yang telah dikuasai petani telah memenuhi syarat dan prosedur pengakuan hak atas tanah berdasarkan:

1.     Putusan MK 45/PUU-IX/2011, “pada proses pengukuhan memungkinkan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada Kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas Kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

-

© 2023 Lokasi Prioritas Reforma Agraria
Lokasi Prioritas Reforma Agraria Lokasi Prioritas Reforma Agraria