Pada 1915 tanah tersebut ditetapkan sebagai Hak Erfpacht No. 18 yang dipegang Henry Nicholas Boon. Kemudian datanglah generasi pertama petani penggarap di Sendang Pasir tercatat telah bertani dan bermukim sejak 1917-1922 dan sebagian menjadi buruh perkebunan waktu itu. Pasca kemerdekaan dan hilangnya perusahaan pemegang Hak Erfpacht, buruh tani mulai menanami dan bertempat tinggal di atas eks Hak Erfacht.
Hal ini berlangsung hingga hari ini meski banyak klaim atas tanah tersebut baik dari perusahaan, pemerintah daerah kabupaten buleleng maupun pemerintah provinsi bali, namun petani tetap menguasai tanah tersebut hingga menjadi desa yang mapan berkat para petani anggota Serikat Petani Suka Makmur (SPSM).
Pada 2016 KPA bersama petani anggota Serikat Petani Suka Makmur (SPSM) mengusulkan LPRA kepada menteri ATR/BPN untuk dilakukan redistribusi tanah dan selalu menjadi target penyelesaian konflik agraria pemerintah.
Maret dan September 2021 Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria menyelenggarakan pertemuan di Denpasar membahas percepatan redistribusi tanah dan LPRA KPA di Sendang Pasir menjadi salah satu targetnya.
Desember 2021, Gubernur Bali menggelar rapat mengenai penyelesaian masalah pertanahan Eks HGU PT. Margarana dengan meminta petani segera meninggalkan eks HGU, hal ini ditolak dan jelas pada kesempatan ini tidak didapat kesepakatan.
Juni 2022, Gubernur Bali kembali mengundang pertemuan membahas masalah yang sama, kali ini menawarkan skema penyelesaian konflik melalui pelepasan klaim aset Pemprov Bali untuk petani sebesar 3 are untuk rumah dan 10 are untuk pertanian dan jelas kembali ditolak oleh petani.
November 2022, Kantor Pertanahan Buleleng dan perwakilan Pemprov Bali melakukan pendataan fisik tanah dan pemetaan penguasaan tanah terkini.
Pada Agustus 1951 Pemprov Bali membeli bekas Hak Erfacht dari ahli waris Henry Nicholas Boon. Satu bulan berselang, Oktober 1951 Pemprov Bali menugaskan Yayasan Kebaktian Pejuang (YKP) untuk “mengelola tanah yang telah dibeli” untuk kepentingan dukungan ekonomi veteran pejuang kemerdekaan di Buleleng. Hal ini dituangkan dalam Akta Wakil Notaris Ida Bagus Ketut Rurus, No. 24 tertanggal 3 Oktober 1951.
Pada 18 Desember 1957, YKP melalui perusahaannya yakni PT. Margarana mengajukan permohonan Hak Guna Usaha (HGU) atas bekas Hak Erfpacht namun baru pada 27 Desember 1980 BPN baru menerbitkan SK HGU Nomor 78/HGU/DA/1980 atau HGU No.1 seluas 200an hektar dan telah habis masa berlakunya sejak 31 Desember 2005. Meski memiliki HGU namun tidak ada aktivitas perkebunan di atasnya, tanah diterlantarkan perusahaan bertahun-tahun.
Pada 1990 petani mereklaiming seluruh HGU terlantar PT. Margarana, HGU perusahaan pun habis masa berlakunya pada tahun 2005. Pada tahun 2003 Perusahaan meminta rekomendasi perpanjangan HGU kepada Bupati Buleleng, kemudian Bupati Buleleng mengeluarkan surat No. 590/1891 tertanggal 23 Juni 2003 perihal penolakan perpanjangan permohonan HGU. Oleh sebab itu BPN pun tidak memperpanjang HGU tersebut, dikutip dari Putusan No. 100/PDT.G/2011/PN.SGR.
Pada tahun 2009 Pemprov Bali menginginkan kembali tanah yang sudah menjadi bekas HGU PT. Margarana sebagai Hak Pengelolaan Pemprov Bali, namun YKP dan perusahaan enggan mengembalikan tanah tersebut kepada Pemprov Bali.
Pada tahun 2011 Pemprov Bali mengajukan gugatan terhadap PT. Margarana terkait tanah eks HGU Nomor 1 di Desa Pemuteran, dengan dasar bahwa telah membeli tanah bekas Hak Erfpacht Henry Nicholas Boon sebesar Rp.200.000 pada Agustus 1951. Persidangan berjalan selama 7 tahun lamanya dan dimenangkan oleh Pemprov Bali melalui Putusan MA No. 591 PK/Pdt/2018, “Menyatakan sah menurut hukum Penggugat adalah pemilik tanah eks HGU No.1, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, seluas 2.465.000 M2/246 ha”.
Masyarakat
Petani yang tergabung dalam Serikat Tani Buleleng sudah memenuhi kriteria dan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3 Perpres 62/2023 Tentang Percepatan Pelaksanaa Reforma Agraria jo Pasal 8, 9 dan 10 PP 224/1961.
Pemerintah Provinsi
Klaim aset Pemprov Bali sebagai konsekuensi Putusan MA No. 591 PK/Pdt/2018, tidak serta merta menjadikan Pemprov Bali sebagai pemegang hak, sebab Pemprov Bali perlu mengajukan dan memegang HPL terlebih dahulu kepada BPN hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1), 25 dan 28 Permen ATR 18/2021. Sementara, jika BPN tetap mengeluarkan HPL maka jelas melanggar Pasal 14 ayat (2), ayat (3), Pasal 28 dan Pasal 36 ayat (1) Permen ATR 18/2021.
Perusahaan
Permohonan perpanjangan HGU oleh perusahaan dilakukan pada tahun 2000 sedangkan HGU telah dikuasai masyarakat sejak 1990-an, dengan kata lain perusahaan tidak memenuhi syarat sah pengajuan perpanjangan HGU, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a PP 40/1996 “Hak Guna Usaha dapat diperpanjang atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat: a. tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut” sebagaimana yang telah diubah dalam Pasal 25 ayat (1) PP 18/2021 jo Pasal 71 ayat (1) Permen ATR 18/2021.
Perusahaan tidak dapat mengklaim eks HGU No.1 di Desa Pemuteran karena berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf g PP 40/1996 bahwa pemegang HGU wajib “menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus” sebagaimana yang telah diubah dalam Pasal 27 huruf i PP 18/2021.
Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 2, Pasal 3 Perpres 62/2023, dapat disimpulkan bahwa eks HGU PT. Margarana sudah memenuhi kriteria hukum sebagai objek reforma agraria. Adapun petani Anggota SPSM Sendang Pasir memenuhi syarat sebagai subjek redistribusi sebagaimana diatur Pasal 8, 9 dan 10 PP 224/1961.
Satgas Percepatan Redistribusi Tanah Pada LPRA dan Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas), dalam hal ini Kementerian ATR/BPN bersama KPA melakukan verifikasi dan validasi terhadap subjek-objek RA di Kp. Sendang Pasir, Desa Pemuteran, hasil kegiatan ini akan digunakan sebagai dasar penetapan calon subjek dan objek RA melalui keputusan menteri ATR/BPN selaku Ketua GTRA Pusat, sesuai Pasal 7 ayat (2 dan 3) mengenai tahapan redistribusi tanah.
Satgas merekomendasikan kepada Menteri ATR/BPN menerbitkan keputusan penetapan tanah sebagai objek RA terhadap HGU PT. Margarana sekaligus pelaksanaan kewenangan Ketua GTRA Pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan e Perpres 86/2018, bahwa Menteri ATR/BPN berwenang untuk menyediakan tanah sebagai objek RA dan memfasilitasi penyelesaian konflik agraria, yang diperkuat oleh Pasal 7 ayat (6) “Penetapan objek redistribusi tanah ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri (dalam hal ini Menteri ATR/BPN).
Menteri ATR/BPN menerbitkan keputusan pengakuan hak atas tanah hasil pelaksanaan RA melalui sertifikat tanah bagi para petani.