Setelah peristiwa Referendum Timor-Timur/Timor Leste pada 1999, masyarakat asal Bali yang bertransmigrasi ke Tim-Tim diinta ke Bali (Indonesia) oleh pemerintah Provinsi Bali. Padahal para transmigran asal Bali sudah hidup berkecukupan di Tim-Tim.
Masyarakat Eks. Transmigrasi Timor-Timur sebelum ditempatkan di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Desa Sumberklampok, awalnya ditempatkan selama ± 1 (satu) tahun oleh Pemerintah di transito/Kantor Transmigrasi Kabupaten Buleleng Bali. Kemudian dengan berjalannya waktu, pada bulan September tahun 2000 dipindahkan ke Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Desa Sumberklampok oleh pemerintah Kabupaten Buleleng dan Provinsi Bali tanpa legalitas yang jelas.
Bupati Buleleng saat itu, Drs. Ketut Wirata Sindu setelah mendapat persetujuan dari DPRD Buleleng merekomendasikan tanah tempat tinggal eks transmigran dan tanah pertanian. Setelah disetujui, para pengungsi gotong-royong membersihkan semak-semak kering di Desa Sumberklampok.
Masyarakat Eks Transmigrasi Tim-Tim yang bertempat tinggal di Banjar Adat Bukit Sari telah menguasai, menggarap dan menempati tanah kawasan HPT di Desa Sumberklampok sejak tahun 2000 sampai sekarang. Masyarakat eks Tim-Tim berasal dari berbagai daerah di Bali, yaitu 46KK dari Kab. Karang Asem, 59 KK dari Kab. Buleleng, dan 2 KK dari Kabupaten Badung-Denpasar. Sejak tahun 2000, mereka masing-masing menempati seluas 4 are pemukiman dan seluas 50 are pertanian.
Akar konflik agraria
Sejak tahun 2000 hingga saat ini, penempatan masyarakat Eks Tim-Tim di Kawasan HPT di Desa Sumberklampok belum memiliki kejelasan kepemilikan hak yang jelas. Pada tanggal 16 April 2014, terdapat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.2849/Menhut-VII/KUH/ 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan pada kelompok hutan Bali Barat (RTK.19) seluas 86.649,84, termasuk tanah-tanah para petani eks Tim-Tim. Padahal kawasan HPT tersebut sudah terjadi alih fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman, lahan pertanian dan fasilitas sosial dan fasilitas umum sejak tahun 2000.
Mengapa dan kapan reklaiming
Masyarakat eks Tim-Tim membutuhkan sumber penghidupan, sebab sejak dipindahkan ke Bali mereka harus memulai kembali kehidupannya dari nol. Mereka telah menguasai tanah di Desa Sumberklampok sejak tahun 2000 sebagai pemukiman, pertanian, fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Mengapa dan kapan berserikat
Untuk memperbesar dan menguatkan gerakan tani, masyarakat Eks Tim-Tim membentuk Banjar Adat Bukit Sari sejak tahun 2000 yang secara administratif berada di bawah pemerintahan desa adat. Selain Banjar Adat Bukit Sari, terdapat 3 banjar adat lainnya di Desa Sumberklampok. Aktif ber-KPA sejak tahun 2017, di mana Banjar Adat Bukit Sari yang telah terbentuk dikuatkan melalui nilai-nilai gerakan yang dibangun bersama KPA.
Apa saja tantangan dan masalah (kriminalisasi, penggusuran dll)
Tantangan perjuangan masyarakat Eks Tim-Tim yaitu berhadapan dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Sebab berbatasan dengan taman nasional di sebelah selatan, di barat berbatasan dengan hutan desa, di utara berbatasan dengan eks HGU PT. Margarana, dan sebelah timur berbatasan dengan taman nasional, membuat tanah yang diusahakan dan dikelola oleh masyarakat Eks Tim-Tim oleh Dinas kehutanan provinsi telah menyerahkan urusan dan wewenangnya ke kementerian.
Masyarakat
Petani di Desa Sumberklampok Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali telah memenuhi kriteria dan syarat sebagai subjek RA sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf (a) Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Percepatan Reforma Agraria jo Pasal 8, 9 dan 10 PP 224/1961. Selain itu, berdasarkan bukti sejarah tanah secara turun temurun telah dimanfaatkan petani.
Pendekatan “Pragmatisme” tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, bahkan dapat melahirkan masalah baru yang makin memperumit keadaan. Konflik agraria dalam artinya yang benar (“genuine”), bukan “pseudo-reform” (GWR, 2014).
Pengecualian Pemidanaan Sektor Kehutanan Bagi Petani
Di dalam UUPA pengaturan hukum pertanahan di Kawasan hutan setidaknya diatur dalam Pasal 16 ayat (1), Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) jo pasal 46, dimana salah satu hak atas tanah adalah hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. Dalam penjelasannya “Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah”. Maka dari itu KPA berpendapat bahwa konsekuensi dengan diaturnya hak memungut hasil hutan seperti menebang pohon, mengambil tanaman dan memanfaatkan hasil hutan lainnya oleh masyarakat terutama petani dan masyarakat adat, bukanlah tindak pidana, selama dilakukan di atas tanah miliknya sendiri untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengecualian pemidanaan untuk petani dan masyarakat adat yang berada di dalam dan/atau sekitar Kawasan hutan, pengecualian yang dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Pasal 1 angka 6 UU P3H jelas menetapkan bahwa “Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara Bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar Kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”.
Ketentuan di atas Kembali di tegaskan dalam Pasal 11 UU P3H “Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”. Undang-undang ini sejak awal menitikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi untuk tujuan komersil atau bisnis. Dalam penjelasannya UU P3H mengatur hal demikian, “tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di dalam wilayah hutan tersebut”.
Perusahaan
Eks Tim-Tim di Kawasan HPT di Desa Sumberklampok belum memiliki kejelasan kepemilikan hak yang jelas. Pada tanggal 16 April 2014, terdapat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.2849/Menhut-VII/KUH/ 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan pada kelompok hutan Bali Barat (RTK.19) seluas 86.649,84, termasuk tanah-tanah para petani eks Tim-Tim. Padahal kawasan HPT tersebut sudah terjadi alih fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman, lahan pertanian dan fasilitas sosial dan fasilitas umum sejak tahun 2000.
Mengapa dan kapan reklaiming
Masyarakat eks Tim-Tim membutuhkan sumber penghidupan, sebab sejak dipindahkan ke Bali mereka harus memulai kembali kehidupannya dari nol. Mereka telah menguasai tanah di Desa Sumberklampok sejak tahun 2000 sebagai pemukiman, pertanian, fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Mengapa dan kapan berserikat
Untuk memperbesar dan menguatkan gerakan tani, masyarakat Eks Tim-Tim membentuk Banjar Adat Bukit Sari sejak tahun 2000 yang secara administratif berada di bawah pemerintahan desa adat. Selain Banjar Adat Bukit Sari, terdapat 3 banjar adat lainnya di Desa Sumberklampok. Aktif ber-KPA sejak tahun 2017, di mana Banjar Adat Bukit Sari yang telah terbentuk dikuatkan melalui nilai-nilai gerakan yang dibangun bersama KPA.
Apa saja tantangan dan masalah (kriminalisasi, penggusuran dll)
Tantangan perjuangan masyarakat Eks Tim-Tim yaitu berhadapan dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Sebab berbatasan dengan taman nasional di sebelah selatan, di barat berbatasan dengan hutan desa, di utara berbatasan dengan eks HGU PT. Margarana, dan sebelah timur berbatasan dengan taman nasional, membuat tanah yang diusahakan dan dikelola oleh masyarakat Eks Tim-Tim oleh Dinas kehutanan provinsi telah menyerahkan urusan dan wewenangnya ke kementerian.
Kesimpulan
Petani anggota maupun masyarakat lain telah memenuhi kriteria dan syarat sebagai subjek RA sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf (a) Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Percepatan Reforma Agraria jo Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 PP 224/1961. Selain itu, berdasarkan bukti sejarah penguasaan tanah melalui trukah dll, membuktikan tanah telah dimanfaatkan petani. Dengan kata lain tanah yang telah dikuasai petani telah memenuhi syarat dan prosedur pengakuan hak atas tanah berdasarkan:
1. Putusan MK 45/PUU-IX/2011, “pada proses pengukuhan memungkinkan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada Kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas Kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.