Wilayah adat atau tanah adat yang dijadikan perkebunan tembakau disebut sebagai tanah jaluran, sedangkan masyarakat adat yang menunggu sampai panen tembakau dan memanfaatkan tanah jaluran disebut sebagai rakyat penunggu yang kemudian di sebut sebagai Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.
Hak-hak masyarakat adat Rakyat Penunggu di atur dan dicantumkan dalam kontrak perjanjian atau dikenal sebagai AKTE VAN KONSESI. Hak -hak yang di peroleh oleh Masayrakat Adat Rakyat Penunggu diantaranya :
Hak untuk bercocok tanam di tanah jaluran setelah panen tembakau, Hak untuk mendapatkan pendidikan gratis sampai perguruan tinggi, Hak untuk mendapatkan kesehatan rumah sakit gratis, hak kompensasi dari hasil panen tembakau, hak untuk membangun dan perluasan Kampong atau tempat tinggal , Hak untuk mengembalikan, memelihara dan memanfaatkan hutan reba (Hutan Lindung) sebagai hutan adat jika tidak dipergunakan kembali untuk perkebunan tembakau.
Masyarakat
Rakyat Penunggu merupakan masyarakat adat yang tergabung dalam BPRPI di Desa Tanjung Gusta Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, telah memenuhi kriteria dan syarat sebagai subjek RA sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3 Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria jo Pasal 8, 9 dan 10 PP 224/1961. Selain itu, berdasarkan bukti sejarah tanah akta van konsesi dan dokumen lainnya bahwa masyarakat telah menguasai tanah bahkan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Masyarakat Adat merupakan subjek RA, memiliki skema tersendiri dalam pelepasan aktiva tetap BUMN. Tanah adat juga bukanlah tanah negara, maka setelah dilakukan pencabutan HGU tanah dikembalikan ke masyarakat adat bukan ke negara. Untuk kemudian diinventarisir dan diadministrasi sebagai wilayah adat, di mana masyarakat adat memiliki hak penuh untuk dapat mengusahakan dan mengelola tanahnya untuk keberlanjutan identitas dan adatnya.
Perusahaan
HGU PTPN II tidak memiliki kejelasan alas hak untuk melakukan usaha perkebunannya. Diametral konflik telah terjadi sejak awal kemerdekaan, yaitu mulai dari nasionalisasi aset Belanda. karena hak-hak atas tanah harus jelas sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA/5/1960 tentang peraturan pokok-pokok agraria. artinya PTPN II harus mempunyai legal standing mengenai status hak atas tanahnya.
Dugaan Pelanggaran hukum PTPN II:
-
Nasionalisasi aset kolonial oleh Pemerintah tidak dilakukan dengan evaluasi yang ketat, sistem administrasi yang kuat, dan semangat nasionalisme tanpa memahami cita bangsa secara utuh untuk menghormati, mengakui dan melindungi masyarakat adat yang telah ada sebelum kemerdekaan.
-
Nasionalisasi aset kolonial yang tidak mengakar pada cita hukum membuat hukum pada implementasinya tidak dapat mencapai tujuannya.
-
Setelah melakukan nasionalisasi hingga saat ini PTPN II melakukan usaha perkebunannya tanpa alas hak yang jelas. Hal ini melanggar jaminan kepastian hukum dan keadilan sosial yang dijamin UUPA, UU HAM, UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan terkait usaha perkebunan.
-
Sejak awal nasionalisasi terdapat tumpang tindih HGU dengan hak atas tanah ulayat Rakyat Penunggu. Hal ini diperkuat dengan Putusan incraht MA Reg. No.1734 K/Pdt/2001 yang menyatakan pihak PTPN II bersalah terhadap berbagai tindakan yang melanggar hukum terhadap anggota BRPPI.
-
Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 ditetapkan bahwa Perusahaan wajib memiliki IUP-B dan HGU untuk dapat melakukan kegiatan usaha perkebunan. Melalui putusan ini juga diakui bahwa anggota BPRPI merupakan masyarakat adat yang telah dilanggar haknya oleh negara dan perusahaan.
-
Harus dilakukan pengukuran ulang HGU dan pencabutan HGU untuk dikembalikan kepada BPRPI, serta tindakan serius terhadap PTPN yang selama ini melanggar hukum.
-
Kepengurusan masyarakat adat dan hak-hak yang menyertainya merupakan kewenangan pemerintah daerah, maka dalam hal ini kepala daerah harus proaktif dalam menghormati, memenuhi, melindungi dan memulihkan hak-hak warga negara dan hak ulayat komunitas masyarakat adat anggota BPRPI yang dijamin konstitusi.
Bahwa akibat HGU yang cacat hukum secara formil dan substansial, sebagaimana dijelaskan di atas maka penguasaan tanah oleh PTPN II tidak sah dan melanggar hukum. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf a Permen ATR 21/2020 diatur bahwa Pembatalan Produk Hukum dilakukan oleh Pejabat yang berwenang karena: a. cacat administrasi dan/atau cacat yuridis. Maka sebagai upaya koreksi tindakan/kebijakan terdahulu, Kementerian ATR/BPN dapat mencabut HGU PTPN yang melanggar hukum. Hal ini juga selaras dengan Pasal 64 ayat (1) PP 18/2021, bahwa Pembatalan Hak Atas Tanah karena cacat administrasi hanya dapat dilakukan: b. karena adanya tumpang tindih Hak Atas Tanah. Selain itu berdasarkan Pasal 31 huruf b PP 18/2021 bahwa HGU dapat dibatalkan Menteri ATR sebelum jangka waktunya berakhir apabila cacat administrasi.
Pelepasan aset negara mengacu: UU BUMN, UU PT, UU 41/2003, UU 45/2005, UU 74/2020
Permen BUMN No. Per-03/MBU/03/2021 tentang perubahan ketiga atas permen bumn no. 02/MBU/2010 tentang tata cara penghapusbukuan dan pemindahan aktiva tetap BUMN: Pasal 3 ayat 2 huruf g, Pasal 17, Pasal 18.
Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 2, Pasal 3 Perpres 62/2023, dapat disimpulkan bahwa HGU PTPN II sudah memenuhi kriteria hukum sebagai objek reforma agraria. Adapun masyarakat anggota BPRPI memenuhi syarat sebagai subjek redistribusi sebagaimana diatur Pasal 8, 9 dan 10 PP 224/1961.
Surat Keputusan Direktorat Agraria Medan atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Suma tera Utara No:592.17321-70/2783 tanggal 16 Februari 1983, dimana dinyatakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria No: 44/DJA/1981 disebutkan tanah seluas lebih kurang 9.085 ha dikeluarkan dari areal HGU (Hak Gu na Usaha) PTP - IX yang ditegaskan menjadi objek landreform.