JAKARTA – Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya, mengatakan konflik agraria terus meningkat di berbagai daerah. Kondisi ini berbanding terbalik dengan penyelesaian konflik agraria yang cenderung berlarut-larut.
“Penyelesaian konflik agraria masih lambat, bahkan cenderung menguap,” kata Benni, kemarin.
Benni berpendapat bahwa penyelesaian masalah ini berlarut-larut karena tidak ada peraturan pelaksana yang menjembatani penyelesaian konflik agraria tersebut. Selama ini, pemerintah hanya mengandalkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. “Baru pada 2018 lahir Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria,” katanya.
Penyebab lain, menurut Benni, adalah belum ada lembaga otoritatif langsung di bawah presiden yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penanganan konflik agraria. Ego sektoral antar-kementerian serta tumpang-tindih regulasi juga dianggap ikut mempengaruhi proses penyelesaian konflik pertanahan tersebut.
Konsorsium Pembaruan Agraria memperoleh informasi laporan tentang konflik agraria yang sampai ke Istana lewat Kantor Staf Presiden (KSP) mencapai 1.504 kasus hingga Agustus lalu. Angka ini meningkat hampir 500 kasus jika dibanding pada tahun lalu.
Tahun lalu, KSP membentuk satuan tugas penyelesaian konflik agraria. Satuan tugas ini beranggotakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, serta empat organisasi masyarakat sipil. Keempatnya adalah Konsorsium Pembaruan Agraria, Serikat Petani Indonesia, Gema Perhutanan Sosial, dan Badan Restorasi Wilayah Adat (BRWA).
Kepala Staf Presiden, Moeldoko, mengatakan, sejak terbentuk, satuan tugas ini sudah menerima banyak aduan konflik agraria. Dari seribuan laporan yang diterima, satuan tugas lantas memprioritaskan untuk menyelesaikan 137 kasus konflik agraria, sebagian besar berada di kawasan hutan.
Di samping itu, Moeldoko mengklaim capaian keberhasilan penanganan konflik agraria secara umum. Misalnya, Kementerian Agraria sudah meredistribusikan 11.287 bidang tanah kepada 8.144 keluarga di 15 lokasi di Indonesia.
Benni Wijaya membantah klaim keberhasilan tersebut. Sesuai dengan catatan lembaganya, capaian penyelesaian konflik agraria justru masih sangat minim, khususnya pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan masyarakat. “Pelepasan kawasan hutan justru masih nol,” kata dia.
Benni menduga klaim pemerintah itu justru melingkupi capaian program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yaitu program sertifikasi tanah secara gratis. Meski begitu, Benni mengakui memang ada upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria melalui redistribusi lahan. Namun angkanya juga masih minim atau jauh di bawah capaian yang diklaim KSP. Contoh keberhasilan redistribusi lahan itu berada di Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara; dan Buleleng, Bali.
Benni menjelaskan, Konsorsium Pembaharuan Agraria awalnya mengusulkan 523 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Namun satuan tugas hanya menyetujui 54 lokasi dari total 137 LPRA yang disepakati. Padahal kasus itu seharusnya mudah diselesaikan. “Hingga saat ini hanya 14 yang selesai dari 54 usulan tersebut,” ujarnya.
Kepala BRWA, Kasmita Widodo, menguatkan penjelasan Benni. Ia menyebutkan lembaganya juga mengusulkan sejumlah LPRA, tapi hanya diakomodasi 27 lokasi, yang masuk dalam bagian 137 lokasi prioritas. “Tapi hingga kini baru tiga lokasi yang terselesaikan dari 27 usulan kami,” katanya. Tiga lokasi tersebut berada di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Faktor Pencatatan Aset
Deputi II KSP Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Panca Putra Tarigan, mengatakan lambatnya penanganan konflik agraria antara lain karena tersandung urusan aset. Urusan aset ini menjadi dilema badan usaha milik negara (BUMN) yang menjadi pemilik tanah berkonflik tersebut.
“Di satu sisi dimohonkan untuk dilepaskan bagi masyarakat. Namun, di sisi lain, BUMN ada kewajiban untuk menjaga asetnya,” kata Abetnego. Karena itu, kata dia, pemerintah mendorong berbagai opsi penyelesaian yang berimbang bagi para pihak, baik masyarakat maupun kementerian atau BUMN.
Anggota tim ahli KSP, Syska Hutagalung, menambahkan, tipologi dan kompleksitas kasus ikut menghambat penyelesaian konflik agraria. Selain itu, pemerintah kesulitan menilai sengketa tanah tersebut hanya berdasarkan klaim masing-masing pihak yang bersengketa.
Saat ini, kata dia, KSP tengah merumuskan Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria untuk menyelesaikan berbagai permasalahan konflik agraria. Rancangan peraturan presiden itu akan menggantikan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. “Saat ini masuk tahap diskusi publik,” kata Syska, yang ikut merumuskan rancangan peraturan presiden tersebut. Draf rancangan peraturan presiden ini dapat diakses di laman Kementerian Koordinator Perekonomian. Publik juga diberi kesempatan memberikan masukan paling lambat pada 9 November 2022.
Oleh: Ilona Esterina Piri